
JAKARTA | Kindonews.com – Putusan Majelis hakim terhadap pelaku korupsi dan pencucian uang, Harvey Moeis menjadi sebuah ironi dalam upaya pemberantasan korupsi dinegeri ini.
Sebagian besar bahkan seluruh rakyat Indonesia terkejut mendengar dan menyaksikan berbagai berita tentang penjatuhan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara terhadap pelaku tindak korupsi yang merugikan keuangan negara senilai 300 triliun rupiah.
Hal tersebut disampaikan oleh pegiat anti korupsi Jalih Pitoeng usai menghadiri acara silaturahmi trah Pangeran Jayakarta di bilangan Jakarta Timur.
“Jelas kami sangat kecewa. Putusan hakim yang begitu ringan sungguh sangat menciderai rasa keadilan dinegeri ini” ungkap Jalih Pitoeng, Minggu (29/12/2024).
“Keinginan nasional kita dalam pemberantasan korupsi hanya menjadi ilusi” sambungnya.
“Bagaimana tidak, korupsi ratusan triliun hanya dihukum ringan. Bahkan sangat ringan” tandas Jalih Pitoeng.
“Jika hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor kakap saja demikian ringannya, maka besar kemungkinan akan menyuburkan lahirnya koruptor-koruptor baru” lanjut Jalih Pitoeng mengingatkan.
Selain mengecam soal tuntutan jaksa dan putusan hakim tersebut, ketua FORMASI (Forum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi) ini juga mengatakan bahwa bangsa ini telah mengkhianati Pancasila.
“Kita telah mengkhianati Pancasila” ungkap Jalih Pitoeng.
“Keadilan dua kali disebutkan dalam Pancasila. Yaitu sila kedua dan sila kelima” Jalih Pitoeng menegaskan.
“Namun apa yang kita lihat dan kita dengar saat ini adalah justru merobek-robek rasa keadilan dimasyarakat” lanjut Jalih Pitoeng.
Salah satu sosok pegiat anti korupsi yang saat ini sedang mendukung sekaligus mengawal proses pemberantasan korupsi ratusan miliar di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang juga menginginkan segera diundangkannya RUU Perampasan Aset ini mempertanyakan kinerja dan keseriusan pihak kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
“Ada apa dengan Kejaksaan” tanya Jalih Pitoeng pada awak media.
“Mengapa Jaksa melakukan penuntutan begitu ringan. Demikian pula hakim yang seakan menawar separuh dari harga rambutan dipasar buah” sindir Jalih Pitoeng.
Atas tuntutan jaksa dan putusan majelis hakim yang ringan tersebut, Jalih Pitoeng mengatakan bahwa FORMASI akan segera mendatangi Kejaksaan Agung dan akan bersurat kepada Presiden atas ketidakadilan tersebut.
“Kita minta kepada Presiden Prabowo untuk mencopot Kajagung karena tidak bisa memberikan keadilan kepada masyarakat” ungkap Jalih Pitoeng kesal.
Ditanya apa keinginannya terhadap hukuman bagi para koruptor, Jalih Pitoeng minta agar koruptor dihukum gantung.
“Idealnya dihukum gantung” jawabnya tegas.
“Jika tidak dihukum gantung, minimal dihukum mati. Dirampas seluruh asetnya serta dimiskan keluarganya” kata Jalih Pitoeng.
“Karena jika tidak dirampas dan dimiskinkan, maka para koruptor akan berhitung secara kalkulatif karena mereka masih untung melimpah dan keluarganya masih bisa berpoya-poya kendati dirinya didalam penjara” Jalih Pitoeng mengingatkan.
“Kemudian dari uang haramnya, dia bisa melakukan berbagai cara untuk meringankan hukuman serta menyulap penjara menjadi syurga” tandanya pedas.
“Lalu dimana fungsi hukuman sebagai efek jera” pungkas Jalih Pitoeng seraya melempar tanya.
Sebelumnya juga diketahui, bahwa Eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyoroti vonis ringan yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis, dan membandingkannya dengan hukuman seumur hidup yang diterima Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya.
“Coba Anda ambil contoh, Benny Tjokro. Hukumannya seumur hidup, asetnya dirampas,” kata Mahfud saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Mahfud menjelaskan, Harvey yang didakwa merugikan negara Rp 300 triliun hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Sementara itu, Benny yang terbukti merugikan negara Rp 22,788 triliun dalam kasus Asabri dan Rp 16,807 triliun dalam kasus Jiwasraya dijatuhi hukuman seumur hidup. “Kerugian kasus timah jadi Rp 300 triliun, hanya dikabulkan perampasannya Rp 210 (miliar) ditambah denda Rp 1 miliar berarti Rp 211 (miliar). Ini sungguh tidak adil,” ujarnya.(KN)