Magrib Mengaji, Adalah Langkah ReKonstruksi Budaya Betawi Yang Hakiki

Spread the love

JAKARTA | KindoNews – Aktivis sekaligus pemerhati sosial, politik dan budaya kelahiran Betawi Jalih Pitoeng membantah adanya anggapan eksklusifitas terhadap program yang dicanangkan oleh calon gubernur nomor urut 1 Ridwan Kamil.

Menurut Jalih Pitoeng, program “Magrib Mengaji” adalah upaya merekonstruksi budaya Betawi yang hampir punah dibabat oleh sinetron-sinetron dan program-program komersial serta hura-hura belaka diberbagai televisi.

Menurut pendiri Yayasan Perjuangan Rakyat Jalih Pitoeng, bahwa program tersebut adalah sangat mulia dan satu-satunya program yang belum pernah ada.

“Kita sangat mendukung rogram kang Emil tentang Magrib Mengaji” ungkap Jalih Pitoeng saat diminta komentarnya, Rabu (09/10/2024).

“Ini adalah upaya yang sangat mulia dalam merekonstruksi budaya Betawi yang islami” sambung Jalih Pitoeng.

“Dulu, kita disekolah diajarkan Pancasila, tatakrama hingga budi pekerti” imbuh Jalih Pitoeng mengingatkan.

“Demikian pula kita-kita dimasa kecil itu wajib masuk rumah, mushola dan mengaji usai sholat magrib” sambung Jalih Pitoeng.

“Sehingga pendidikan akhlaq, budi pekerti, moral dan intelektual berjalan beriringan yang mampu membentuk karakter generasi bangsa Indonesia khususnya ditanah Betawi” tegas Jalih Pitoeng.

Ditanya apa tanggapannya tentang ada pihak yang menganggap bahwa program ‘Magrib Mengaji’ merupakan program yang bersifat eksklusif, aktivis Betawi yang dikenal kritis ini justru mengajak untuk berdiskusi yang lebih komprehensif.

“Apanya nya yang eksklusif” Jalih Pitoeng balik bertanya.

“Coba anda bayangkan bagaimana nasib bangsa ini khususnya generasi muda mendatang jika tiap sore bahkan berbarengan dengan magrib, anak-anak kita dijejali oleh para penyelenggara program acara sekaligus pengeruk keuntungan dengan program-program sinetron, ketawa-ketiwi serta beberapa program yang un eduktif lainnya” Jalih Pitoeng mengingatkan.

Menurutnya, kenakalan remaja, gaya hidup bermewah mewahan serta kurangnya contoh yang baik, juga membuat bangsa ini lupa dengan jatidiri bangsa yang santun, religius, gotong royong dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, akhlaq dan budi pekerti.

“Kenakalan remaja, tawuran hingga korupsi adalah cermin kegagalan negara dalam melakukan pendidikan dan pembinaan bagi rakyatnya yang miskin contoh contoh” Jalih Pitoeng menegaskan.

“Sehingga negara wajib hadir dalam rangka memberikan pendidikan kepada rakyat sesuai amanat undang-undang” tegas Jalih Pitoeng.

“Nah soal itu dianggap bahwa hanya mementingkan satu agama tertentu, itu tuduhan yang terlalu terburu-buru” kata Jalih Pitoeng.

“Kan kang Emil itu muslim. Sebagai cucu seorang kiayi besar di Jawa Barat yang turut berjuang merebut kemerdekaan, tentunya dimasa kecil beliau pasti punya pengalaman yang sama tentang mengaji usai magrib. Karena budaya Sunda tidak jauh berbeda dengan kita di Betawi” papar Jalih Pitoeng.

“Oleh karena itu, beliau ingin menunjukan bahwa dirinya sangat peduli terhadap budaya Betawi secara hakiki bukan sebatas retrika dan kepiawaian bernarasi” Jalih Pitoeng menjelaskan.

“Jika ada usulan dan aspirasi dari tokoh atau kelompok agama lain, maka silahkan diusulkan untuk menjadi sebuah program” sambungnya.

“Jadi soal Pancasila, Pluralisme dan Kebhinekaan serta Toleransi, kang Emil tidak perlu lagi diragukan soal itu” Jalih Pitoeng menegaskan.

“Apalagi kita semua tahu bahwa Jalarta ini adalah kota yang sangat majemuk. Multi etnis, multti kultur serta multi karakter” pungkas Jalih Pitoeng.(Dig)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *