
JAKARTA | Kindonews.com – Penggalan lirik tema lagu pada film Si Doel Anak Sekolahan yang pernah populer di era tahun sembilan puluhan “Anak Betawi, ketinggalan jaman katenye” tersebut menjadi menarik perhatian salah satu pendiri sekaligus sekretaris umum yayasan Pelestarian dan Pengembangan Budaya Betawi (YASBI) haji Nurhasan.
Menurutnya lagu yang dinyanyikan Rano Karno dalam Film Si Doel Anak Sekolahan yang saat ini resmi menjadi Wakil Gubernur Jakarta untuk 5 Tahun kedepan, bisa di rubah menjadi “Budaya Betawi ketinggalan zaman Katenye“.
Sindiran tersebut merupakan gambaran dari keresahan para pimpinan Sanggar Seni Budaya Betawi yang semakin dianggap ketinggalan zaman di tengah gemerlapnya kehidupan Ibukota Jakarta.
Warga Jakarta, terutama kalangan anak remaja, pasti lebih familiar dengan lagu-lagu khas budaya barat, daripada lagu daerah khas Betawi seperti “Jali-jali”, “Kicir-kicir”, atau “Ondel-ondel”.
Tak hanya lagu, bahkan generasi muda Jakarta mungkin sudah tidak lagi mengenal dengan seni tradisi Betawi lainnya seperti; Topeng Betawi, Uncul, Topeng Blantek dan lainnya.
Nurhasan yang juga merupakan salah satu pemerhati Sanggar Seni budaya Betawi di Jakarta, mencoba mengupas beberapa faktor yang menyebabkan para Sanggar Seni Budaya Betawi yang semakin hari semakin memprihatinkan keberadaannya yaitu antara hidup segan mati tak mau.
Terutama dalam aspek pembinaan berkelanjutan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Lahirnya Perda Pelestarian Budaya Betawi yang awalnya di harapkan dapat memberikan angin segar untuk para pelaku dan Sanggar Seni Budaya Betawi justru tidak berdampak secara signifikan” ungkap Hasan, Jum’at (21/02/2025).
“Seperti halnya yang tertuang dalam BAB VI pasal 2 tentang Pembinaan” sambungnya.
“Karena didalam PERDA Pelestarian Budaya Betawi tersebut justru hanya menguntungkan para pemangku kebijakan seperti Satuan Kerja Perangkat Daerah atau SKPD pemerintah provinsi DKI Jakarta” kata Hasan menegaskan.
Menurutnya bahwa didalam pasal 2 tersebut berbunyi “Kegiatan pelestarian budaya Betawi yang di laksanakan oleh Pemda DKI menggunakan APBD sedangkan pelestarian yang di laksanakan masyarakat menjadi tanggung jawab masyarakat”.
Hal ini berdampak pada keberlangsungan Sanggar Seni Betawi dalam melaksanakan Pembinaan berkelanjutan.
“Mereka hidupnya dari Manjak (Tampil). Jika dalam 1 bulan mereka tidak ada penampilan, maka bisa dibayangkan kehidupan para pimpinan Sanggar Seni Budaya Betawi untuk menghidupi Sanggar mereka bisa tetap eksis” jelas Hasan.
“Hal inilah yang menurut saya perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah provinsi Jakarta dalam menunjang keberlanjutan kehidupan Sanggar” sambungnya menegaskan.
Menurut nya bahwa mereka perlu mendapatkan Dana Pembinaan yang bersumber dari APBD atau Biaya Operasional Sanggar (BOS)
“Faktor selanjutnya yaitu terjadinya pemotongan-pemotongan oleh oknum-oknum SKPD baik Dinas ataupun Sudin-sudin melalui PPTK yang berdampak sangat buruk bagi keberlangsungan Sanggar Seni Budaya Betawi” kata Hasan menyesalkan.
“Adanya Pergub tentang Standarisasi Satuan Harga Kesenian (SSHK) justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum SKPD untuk meraup keuntungan bahkan tidak tanggung-tanggung sampai di angka 60% pemotongan tersebut” Hasan mengeluhkan.
“Bahkan yang lebih ironi dan miris lagi pembayaran yang sangat lama, sehingga banyak para pimpinan Sanggar yang harus putar otak untk mencari dana talangan sebagai biaya transport pemain” yang sudah tampil” katanya menjelaskan.
“Oleh karana itu, dengan dilantik nya Gubernur dan wagub yang baru, kami berharap agar Bapak Gubernur dan wakil Gubernur untuk membenahi tata kelola Kebudayaan dan Pariwisata” pinta Hasan.
“Karena di dua SKPD tersebut itulah kami para seniman menggantungkan kehidupan” pungkasnya.(KN)